A. Pengertian IPS
IPS merupakan suatu program
pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu tersendiri, sehingga tidak akan
ditemukan baik dalam nomenklatur filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial
(social science), maupun ilmu pendidikan (Sumantri. 2001:89). Social Scence
Education Council (SSEC) dan National Council for Social Studies (NCSS),
menyebut IPS sebagai “Social Science Education” dan “Social Studies”. Dengan
kata lain, IPS mengikuti cara pandang yang bersifat terpadu dari sejumlah mata
pelajaran seperti: geografi, ekonomi, ilmu politik, ilmu hukum, sejarah,
antropologi, psikologi, sosiologi, dan sebagainya
Dalam bidang pengetahuan sosial, ada
banyak istilah. Istilah tersebut meliputi : Ilmu Sosial (Social Sciences),
Studi Sosial (Social Studies) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
1. Ilmu Sosial (Sicial Science)
Achmad Sanusi memberikan batasan
tentang Ilmu Sosial (Saidihardjo,1996.h.2) adalah sebagai berikut: “Ilmu Sosial
terdiri disiplin-disiplin ilmu pengetahuan sosial yang bertarap akademis dan
biasanya dipelajari pada tingkat perguruan tinggi, makin lanjut makin ilmiah”.
Menurut Gross (Kosasih
Djahiri,1981.h.1), Ilmu Sosial merupakan disiplin intelektual yang mempelajari
manusia sebagai makluk sosial secara ilmiah, memusatkan pada manusia sebagai
anggota masyarakat dan pada kelompok atau masyarakat yang ia bentuk.
Nursid Sumaatmadja, menyatakan bahwa
Ilmu Sosial adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku
manusia baik secara perorangan maupun tingkah laku kelompok. Oleh karena
itu Ilmu Sosial adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan
mempelajari manusia sebagai anggota masyarakat.
2. Studi Sosial (Social Studies).
Perbeda dengan Ilmu Sosial, Studi
Sosial bukan merupakan suatu bidang keilmuan atau disiplin akademis, melainkan
lebih merupakan suatu bidang pengkajian tentang gejala dan masalah social.
Tentang Studi Sosial ini, Achmad Sanusi (1971:18) memberi penjelasan sebagai
berikut : Sudi Sosial tidak selalu bertaraf akademis-universitas, bahkan
merupakan bahan-bahan pelajaran bagi siswa sejak pendidikan dasar.
3. Pengetahuan Sosial (IPS)
Harus diakui bahwa ide IPS berasal
dari literatur pendidikan Amerika Serikat. Nama asli IPS di Amerika Serikat
adalah “Social Studies”. Istilah tersebut pertama kali dipergunakan sebagai
nama sebuah komite yaitu “Committee of Social Studies” yang didirikan pada
tahun 1913. Tujuan dari pendirian lembaga itu adalah sebagai wadah himpunan
tenaga ahli yang berminat pada kurikulum Ilmu-ilmu Sosial di tingkat sekolah
dan ahli-ahli Ilmu-ilmu Sosial yang mempunyai minat sama.
Definisi IPS menurut National
Council for Social Studies (NCSS), mendifisikan IPS sebagai berikut: social
studies is the integrated study of the science and humanities to promote civic
competence. Whitin the school program, socisl studies provides coordinated,
systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, economics,
geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion,
and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics,
and natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young
people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the
public good as citizen of a culturally diverse, democratic society in an
interdependent world.
Pada dasarnya Mulyono Tj. (1980:8)
memberi batasan IPS adalah merupakan suatu pendekatan interdsipliner
(Inter-disciplinary Approach) dari pelajaran Ilmu-ilmu Sosial. IPS merupakan
integrasi dari berbagai cabang Ilmu-ilmu Sosial, seperti sosiologi, antropologi
budaya, psikologi sosial, sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik, dan
sebagainya. Hal ini lebih ditegaskan lagi oleh Saidiharjo (1996:4) bahwa IPS
merupakan hasil kombinasi atau hasil pemfusian atau perpaduan dari sejumlah
mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi, sejarah, sosiologi, antropologi,
politik.
B.
Paradigma
Pendidikan IPS Indonesia
Pemikiran
mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran social
studies di Amerika Serikat yang kita anggap sebagai salah satu negara yang
memiliki pengalaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan dalam bidang
itu. Reputasi tersebut tampak dalam perkembangan pemikiran mengenai bidang itu
seperti dapat disimak dari berbagai karya akademis yang antara lain
dipublikasikan oleh National Council for the Social Studies (NCSS) sejak
pertemuan organisasi tersebut untuk pertama kalinya tanggal 28-30 November 1935
sampai sekarang.
Untuk
menelusuri perkembangan pemikiran atau konsep pendidikan IPS di Indonesia
secara historis epistemologis terasa sangat sukar karena dua alasan. Pertama
di Indonesia belum ada lembaga profesionalbidang pendidikan IPS setua dan
sekuat pengaruh NCSS atau SSEC. Lembaga serupa yang dimiliki Indonesia, yakni
HISPIPSI (Himpunan Sarjana Pendidikan IPS Indonesia) usianya masih sangat muda
dan produktivitas akademisnya masih belum optimal, karena masih terbatas pada
pertemuan tahunan dan komunikasi antar anggota secara insidental. Kedua
perkembangan kurikulum dan pembelajaran IPS sebagai ontologi ilmu pendidikan
(disiplin) IPS samapi saat ini sangat terganutng pada pemikiran individual dan
atau kelompok pakar yang ditugasi secara insidental untuk mengembangkan
perangkat kurikulum IPS melalui Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana
Pendidikan Balitbang Dikbud (Puskur). Pengaruh akademis dari komunitas ilmiah
bidang ini terhadap pengembangan IPS tersebut sangatlah terbatas, sebatas yang
tersalur melalui anggitanya yang kebetulan dilibatkan dalam berbagai kegiatan
tersebut. Jadi, sangat jauh berbeda dengan peranan dan kontribusi Social
Studies Curriculum Tas Force-nya NCSS, atau SSEC di Amerika Serikat.
Oleh
karena itu, perkembangan pemikiran mengenai pendidikan IPS di Indonesia akan
ditelusuri dari alur perkembangan kurikulum dalam dunia persekolahan, dikaitkan
dengan beberapa konten pertemuan ilmiah dan penelitian yang relevan dalam
bidang itu.
Istilah
IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), untuk pertama kalinya muncul dalam Seminar
Nasional tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo. Menurut
laporan seminar tersebut (Panitia Seminar Nasional Civic Education, 1972:2,
dalam Winataputra, 1978:42) ada istilah yang muncul dan digunakan secara
bertukar-pakai (interchangeable), yakni “pengetahuan sosial, studi sosial,
dan Ilmu Pengetahuan Sosial” yang diartikan sebagai suatu studi masalah-masalah
sosial yang dipilih dan dikembangkan dengan menggunakan pendekatan
interdisipliner dan bertujuan agar masalah-masalah sosial itu dapat dipahami
siswa. Dengan demmikian para siswa akan dapat menghadapi dan memecahkan masalah
sosial sehari-hari. Pada saat itu konsep IPS tersebut belum masuk ke dalam
kurikulum sekolah, tetapi baru dalam wacana akademis pendidikan Sains.
Pengertian IPS yang disepkati dalam seminar tersebut dapat dianggap sebagai
pilar pertama dalam perkembangan pemikiran tentang pendidikan IPS. Berbeda
dengan pemunculan pengertian social studies dari Edgar Bruce Wesley
dalam pertemuan pertama NCSS tahun 1937 yang segera dapat respon akademis
secara meluas dan melahirkan kontroversi akademik, pemunculan pengertian IPS
dengan mudah diterima dengan sedikit komentar.
Konsep IPS
untuk pertama kalinya masuk ke dalam dunia persekolahan terjadi pada tahun
1972-1973, yakni dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP)
IKIP Bandung. Hal ini terjadi karena, barangkali kebetulan beberapa pakar yang
menjadi pemikir dalam seminar Civic Education di Tawangmangu itu,
seperti Achmad Sanusi, Noeman Somantri, Achmad Kosasih Djahir, dan Dedih
Suwardi berasal dari IKIP Bandung, dan pada pengembangan kurikulum PPSP FKIP
Bandung beberapa sebagai anggota tim pengembang kurikukum tersebut. Dalam
kurikulum SD 8 tahun PPSP digunakan istilah “Pendidikan Kewargaan Negara/Studi
Sosial” sebagai mata pelajaran sosial terpadu. Penggunaan garis miring
nampaknya mengisyaratkan adanya pengaruh dari konsep pengajaran sosial yang
walaupun tidak diberi label IPS, telah diadopsi dalam kurikulum SD tahun 1968.
Dalam kurikulum tersebut digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang di
dalamnya tercakup Sejarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, dan Civics yang
diartikan sebagai Pengetahuan Kewargaan Negara. Oleh karena itu, dalam
kurikulum SD PPSP tersebut konsep IPS diartikan sama dengan Pendidikan
Kewargaan Negara. Penggunaan istilah Studi Sosial nampaknya dipengaruhi oleh
pemikiran atau penafsiran Achmad Sanusi yang pada tahun 1972 menerbitkan sebuah
manuskrip berjudul “Studi Sosial: Pengantar Menuju Sekolah Komprehensif” yang
isinya diwarnai oleh pemikiran Leonard Kenworthy (1970) dengan bukunya
“Teaching Social Studies”
Sedangkan
dalam kurikulum sekolah menengah 4 tahun, digunakan tiga istilah yakni (1) studi
sosial sebagai mata pelajaran inti untuk semua siswa dan sebagai bendera
untuk kelompok mata pelajaran sosial yang terdiri atas geografi, sejarah, dan
ekonomi sebagai mata pelajaran major pada jurusan IPS; (2) Pendidikan Kewargaan
Negara sebagai mata pelajaran inti bagi semua jurusan; dan (3) Civics dan Hukum
sebagai mata pelajaran major pada jurusan IPS (PPSP IKIP Bandung, 1973a, 1973b).
Kurikulum
PPSP tersebut dapat dianggap sebagai pilar kedua dalam perkembangan pemikiran
tentang pendidikan IPS, yakni masuknya kesepakatan akademis tentang IPS ke
dalam kurikulum sekolah. Pada tahap ini konsep pendidikan IPS diwujudkan dalam
tiga bentuk yakni, (1) pendidikan IPS terintegrasi dengan nama Pendidikan
Kewargaan Negara/Studi Sosial, (2) pendidikan IPS terpisah, dimana istilah IPS
hanya digunakan sebagai konsep payung untuk mata pelajaran geografi, sejarah,
dan ekonomi; dan (3) pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bentuk pendidikan
IPS khusus, yang dalam konsep tradisi citizenship transmission (Barr,
dan kawan-kawan: 1978).
Konsep
pendidikan IPS tersebut kemudian memberi inspirasi terhadap kurikulum 1975,
yang memang dalam banyak hal mengadopsi inovasi yang dicoba melalui kurikulum
PPSP. Di dalam kurikulum 1975 pendidikan IPS menampilkan empat profil, yakni:
(1) Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Pendidikan Kewargaan Negara sebagai
suatu bentuk pendidikan IPS khusus yang mewadahi tradisi citizenship
transmission; (2) pendidikan IPS terpadu untuk sekolah dasar; (3)
pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep
payung yang manaungi mata pelajaran geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi;
dan (4) pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah,
geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG (Dep. P
dan K, 1975a; 1975b; 1975c; dan 1976). Konsep pendidikan IPS seperti itu tetap
dipertahankan dalam kurikulum 1984, yang memang secara konseptual merupakan
penyempurnaan dari kurikulum 1975. Penyempurnaan yang dilakukan khususnya dalam
aktualisasi materi yang disesuaikan dengan perkembangan baru dalam
masing-masing disiplin, seperti masuknya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(P4) sebagai materi pokok Pendidikan Moral Pancasial. Sedangkan konsep
pendidikan IPS itu sendiri tidak mengalami perubahab yang mendasar.
Di dalam
kurikulum 1994 mata pelajaran PPKn merupakan mata pelajaran sosial khusus yang
wajib diikuti oleh semua siswa setiap jenjang pendidikan (SD, SLTP, SMU).
Sedangkan mata pelajaran IPS diwujudkan dalam: pertama, pendidikan IPS
tepadu di SD kelas III s/d kelas IV; kedua: pendidikan IPS
terkonfederasi di SLTP yang mencakup materi geografi, sejarah, dan ekonomi
koperasi; dan ketiga: pendidikan IPS terpisan-pisah yang mirip dengan
tradisi in social studies taught as social science menurut Barr
dan kawan-kawan (1978). Di SMU ini pendidikan IPS terpisah-pisah terdiri atas
mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas I dan II; Ekonomi dan
Geografi di kelas I dan II; sosioligi di kelas II; Sejarah Budaya di kelas III
Program Bahasa; Ekonomi, Sosiologi, Tata Negara, dan Antropologi di kelas III
Program IPS.
Bila
disimak dalam perkembangan pemikiran pendidikan IPS yang terwujud dalam
kurikulum sampai dengan dasawarsa 1990-an ini pendidikan IPS di Indonesia
mempunyai dua konsep pendidikan IPS, yakni: pertama, pendidikan IPS yang
diajarkan dalam tradisi “citizenship transmission” dalam bentuk mata pelajaran
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Sejarah Nasional; kedua,
pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi social science dalam bentuk
pendidikan IPS terpisah dari SMU, yang terkonfederasi di SLTP, dan yang
terintegrasi di SD.
Dalam
pembahasannya tentang “Perspektif Pendidikan Ilmu (Pengetahuan) Sosial”, Achmad
Sanusi (1998) dalam konteks pembahasannya yang sangat mendasar mengenai
pendidikan IPS di IKIP, menyinggung sedikit tentang pengajaran IPS di sekolah.
Sanusi (1998: 222-227) melihat pengajaran IPS di sekolah cenderung
menitikberatkan pada penguasaan hafalan; proses pembelajaran yang terpusat pada
guru; terjadinya banyak miskonsepsi; situasi kelas yang membosankan siswa;
ketidaklebihunggulan guru dari sumber lain; ketidakmutakhiran sumber belajar
yang ada; sistem ujian yang sentralistik; pencapaian tujuan kognitif yang
“mengulit-bawang”; rendahnya rasa percaya diri siswa sebagai akibat dari
lunaknya isi pelajaran, kontradiksi materi dengan kenyataan, dominannya latihan
perpikir taraf rendah, guru yang tidak tangguh, persepsi negatif dan prasangka
buruk dari masyarakat terhadap kedudukan dan peran ilmu sosial dalam
pembangunan masyarakat. Oleh karena itu, Sanusi (1998) merekomendasikan
perlunya reorientasi pengembangan yang mencakup peningkatan mutu SDM dalam hal
ini guru agar lebih mampu mengembangkan kecerdasan sisiwa lebih optimal melalui
variasi interaksi dan pemanfaatan media dan sumber belajar yang lebih
menantang. Bersamaan itu pula diperlukan upaya peningkatan dukungan sarana dan
prasarana serta insentif yang fair. Dalam dimensi konseptual, Sanusi (1998:
242-247) menyarankan perlunya batasan yang jelas mengenai tujuan dan konten
pendidikan ilmu sosial untuk berbagai jenjang pendidikan, termasuk di dalamnya
pola pemilihan dan pengorganisasian tema-tema pembelajaran yang dinilai lebih
esensial dan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan perubahan dalam masyarakat.
Dilihat
dari perkembangan pemikiran yang berkembang di Indonesia sampai saat ini pendidikan
IPS terpilah dalam dua arah, yakni: Pertama, PIPS untuk dunia persekolahan
yang pada dasarnya merupakan penyederhanaan dari ilmu-ilmu sosial, dan
humaniora, yang diorganisasikan secara psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan
persekolahan; dan kedua, PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan
guru IPS yang pada dasarnya merupakan penyeleksian dan pengirganisasian
secara ilmiah dan meta psiko-pedagogis dari ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan
disiplin lain yang relevan, untuk tujuan pendidikan profesional guru IPS. PIPS
merupakan salah satu konten dari PDIPS.
PIPS untuk
dunia persekolahan terpilah menjadi dua versi atau tradisi akademik pedagogis,
yakni: pertama, PIPS dalam tradisi “citizenship transmission”
dalam bentuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan
Sejarah Indonesia; dan kedua, PIPS dalam tradisi “social science”
dalam bentuk mata pelajaran IPS terpadu untuk SD, dan mata pelajaran IPS
terkonfederasi untuk SLTP, dan IPS terpisah-pisah untuk SMU. Kedua tradisi PIPS
tersebut terikat oleh suatu visi pengembangan manusia Indonesia seutuhnya
sebagaimana digariskan dalam GBHN dab UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Dalam
konteks perkembangan pendidikan “social studies” di Amerika atau “Pendidikan
IPS” di Indonesia konsep dan praksis pendidikan demokrasi yang dikemas sebagai
“citizenship education” atau “Pendidikan Kewarganegaraan” berkedudukan sebagai
salah satu dimensi dari tujuan, konten dan proses social studies atau
“pendidikan IPS”, atau dapat juga dikatakan bahwa pendidikan demokrasi
merupakan salah satu subsistem dalam sistem pembelajaran “social studies” atau
“pendidikan IPS”. Walaupun demikian, subsistem pendidikan demokrasi ini sejak
awal perkembangannya, seperti di Amerika sudah menunjukkan keunikan dan
kemandiriannya sebagai program pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan
warga negara yang cerdas dan baik. Subsistem ini, sejalan dengan perkembanngan
konsep dan praksis demokrasi, terus berkembang sebagai suatu bidang kajian dan
program pendidikan yang dikenal dengan citizenship education atau civic
education, atau untuk Indonesia dikenal dalam label yang berubah-ubah mulai
dari Civics, Kewargaan Negara, Pendidikan Kewargaan Negara, Pendidikan
Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, dan Pendidikan
Kewarganegaraan.
Menyimak
perkembangan “social studies” secara umum dan pendidikan IPS di Indonesia
sampai saat ini maka perlu adanya reorientasi pendidikan IPS sebagai berikut:
1. Menegaskan kembali visi pendidikan
IPS sebagai program pendidikan yang menitikberatkan pada pengembangan individu
siswa sebagai “aktor sosial” yang mampu mengambil keputusan yang bernalar dan
sebagai “warga negara yang cerdas, memiliki komitmen, bertanggung jawab, dan
partisipatif”.
2. Menegaskan kembali misi pendidikan
IPS untuk memanfaatkan konsep, prinsip dan metode ilmu-ilmu sosial dan bidang
keilmuan lain untuk mengembangkan karakter aktor sosial dan warga negara
Indonesia yang cerdas dan baik.
3. Memantapkan kembali tradisi
pendidikan IPS sebagai pendidikan kewarganegaraan yang diwadahi oleh mata
pelajaran IPS terpadu dan mata pelajaran IPS terpisah.
4. Menata kembali sarana programatik
pendidikan IPS untuk berbagai jenjang pendidikan (Kurikulum, Satuan Pelajaran,
dan Buku Teks) sehingga memungkinkan terciptanya tujuan pendidikan IPS.
5. Menata kembali sistem pengadaan dan
penyegaran guru pendidikan IPS sehingga dapat dihasilkan calon guru dan guru
pendidikan IPS yang profesional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar